Cerita sebelumnya dari HOME
2/3
Malam minggu adalah malamnya anak muda. Orang-orang akan berbondong-bondong ke tempat-tempat yang sedang terkenal dan mengambil foto bersama 0rang-orang terkasih. Tapi tidak bagi Agni. Ibunya sudah cukup capek setelah bekerja seharian di pabrik. Inisatif Agni membantu ibunya untuk menyiapkan makan malam. Menghangatkan rawon yang tadi pagi sempat disantap bersama.
“PRnya sudah selesai, Nduk (panggilan untuk anak perempuan Jawa)?”
“Emm… Alhamdulillah sudah, Bu,” jawab Agni ragu.
“Kurang berapa?” selidik Ibu.
“Kurang matematika tiga soal, Bu. Harusnya sih bisa selesai malam i–“
“Ya memang harus bisa. Jangan bikin malu Ibu dan Bapak,” Ibu menyambar.
“Nggih (Iya), Bu.”
Agni teringat kembali ketika Bapak menyisihkan waktunya tiap malam untuk membantu Agni mengerjakan PR. Tentu saja kalau tidak ada shift malam di Gereja. Matematika adalah salah satu yang tersulit. Walaupun Bapak sempat bilang bahwa matematika di pendidikan Indonesia adalah hasil program Orde Baru untuk Calistung yang belum diubah hingga sekarang, tapi setidaknya Agni masih bisa belajar satu-dua hal. Bapak selalu mengingatkan untuk memberikan mengerahkan setiap keringat yang dipunya untuk setiap bidang yang ditekuni. Termasuk mengerjakan PR matematika.
Bapak memang cukup rajin untuk membaca buku-buku tua hasil peninggalan Eyang. Menjadi satpam sudah pasti punya banyak waktu luang. Bapak biasanya membawa satu-dua buku untuk dibaca di pos, tidak peduli siapa yang menulis. Kalau sedang bosan baca buku Eyang, biasanya Bapak juga meminjam di perpustakaan umum atau mencari pinjaman dari orang lain.
Salah satu tokoh yang pernah Bapak kenalkan ke Agni adalah Abdurrahman Wahid. Presiden Indonesia yang sempat diangkat oleh Amien Rais sekaligus diturunkan oleh Amien Rais. Bapak mengingatkan kalau beliau adalah salah satu aset terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia.
Saking kagumnya dengan Gusdur, Bapak sampai memajang foto ketika Gusdur diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden. Foto itu terpampang jelas di ruang keluarga. Memang foto itu tampak aneh karena Gusdur hanya memakai kaos biasa serta celana pendek sambil melambaikan tangan ke kamera dan khalayak yang ada di depan kediamannya. Beliau seperti sudah tahu dan akan dilengserkan dan tetap pada prinsip ‘gitu aja kok repot’.
Di samping kecerdasan Gusdur, Bapak juga belajar tentang memandang manusia sebagai manusia. Gusdur mengajarkan Bapak kalau berbagai identitas yang kita kenakan bukan berarti menciptakan perpecahan. Hal ini jadi salah satu alasan Bapak mau bekerja sebagai satpam di Gereja. Walaupun alasan ekonomi tetap yang utama.
“Agni, dimakan nasinya. Keburu dingin,” Ibu memotong lamunan Agni.
“Hehe iya, Bu,” sambil menyendok rawon yang sudah hampir dingin.
Agni segera menghabiskan sisa nasi yang masih ada di piringnya. Besok hari Minggu dan kalau PR selesai hari ini, Agni bisa main dengan lebih leluasa. Papan yang tadi siang ia pakai sudah menunggu untuk ditampilkan lagi.
***
Continue reading “HOME (2/3)”